Mengenal Rd. Aria Wira Tanu Datar, Penyebar Ajaran Islam Pertama di Cianjur

0
17089
views
makam Raden Aria Wira Tanu Datar, Pendiri Kabupaten Cianjur pertama sekaligus penyebar ajaran islam di Tatar Sunda khususnya di CIanjur. (foto: istimewa/salakaNews)

Cianjur, salakaNews- Menginjak awal bulan Maulid (kelahiran Nabi Muhammad SAW), atau bertepatan dengan bulan November. Warga Muslim Megalestari Residence melalui Panitia Mushola AL-Abror yang diinisiasi oleh Ustadz Jamuri, Dkk (dan kawan-kawan).  Telah mengagendakan melakukan perjalanan ruhani berupa ziarah kubur guna mendoakan para ulama sebagai penerus risalah nabi dalam menyebarkan ajaran islam yang hingga kini tumbuh subur di tanah ibu pertiwi.

Selain itu juga bertujuan menggali pengetahuan seperti apa sepak terjang para pendahulu penerus risalah nabi itu dalam menyemaikan nilai-nilai tauhid dan meng-Esakan Tuhan. Khususnya di tatar sunda.

Jamuri ketua panitia penyelenggara mengatakan diselenggarakannya wisata ziarah ini dalam rangka ingin menggali secara historis peran ulama pada zaman dahulu dalam menyemai kebaikan dan juga menyebarkan ajaran agama Islam.

“Kita ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana peran ulama di masa lalu, karena setelah meninggalnya pun masih dikunjungi dan didoakan oleh orang lain” kata Jamuri. (selasa, 20/11)

suasana para peziarah dari berbagai daerah ketika berada di lokasi makam Rd Aria WIra Tanu Datar, Cianjur (foto: istimewa/salakaNews)

Kali ini lokasi ziarah yang akan dikunjungi ialah makam  Raden Aria Wira Tanu Datar. tempat perisitirahatan terahir terletak di Kampung Majalaya, desa Cijagang, Kecamatan Cikalong Kulon, Kab.Cianjur. (Selasa 20/11/2018)

Berangkat pada pukul 06.15 WIB hingga tiba di lokasi pada pukul 9.30 WIB. Perjalanan kali ini terbilang cukup lancar tanpa ada kendala yang berarti, selain karena hari libur, pada tanggal ini juga jatuh bertepatan dengan tanggal kelahiran Nabi besar Muhammad SAW. Jalanan pun terlihat begitu lengang.

Hanya saja ketika keluar tol dan memasuki jalan umum menuju Cianjur melewati daerah Cibubur, jalanan mulai terasa menyempit dan kendaraan seperti motor dan mobil pengangkut tanah dan bebatuan berjalan mulai bersamaan.

Jalan Berkelok melewati turunan dan tanjakan, dengan ditemani pemandangan alam yang masih asri dan memikat mata terpesona akan kebesaran Tuhan sebagai Pencipta Agung.

para Peziarah ketika menaiki puluhan meter tangga menuju makam Raden Aria Wira Tanu Datar, Cianjur. (foto: istimewa/salakaNews)

Tak lama berselang, tempat yang dituju mulai terlihat dari kejauhan. Nuansa Alam dan perkampungan kehidupan di desa mulai terasa. Para penduduk menyapa dengan ramahnya, tersenyum simpul memancarkan wajah yang bersahabat. Bus yang ditumpangi rombongan mulai memasuki tempat parkir.

Ketika sudah sampai ke lokasi mata dimanjakan oleh beberapa pedagang dengan makanan khas daerah setempat. Jalan lingkungan yang telah dibangun oleh daerah setempat dipadati pengunjung yang akan berziarah ke makam yang dituju.

Dari depan terlihat begitu apik arsitektur banguna yang sudah dipugar menjadi lebih asri dan modern. Untuk menuju makam yang akan dituju, si pengunjung harus menaiki puluhan tangga yang telah dibangun secara apik. Panjangnya sekira 160 tangga menuju ke atas tempat pemakaman sang raden. Akan tetapi sebelum manaiki tangga, pengunjung disarankan mengambil air wudhu yang sudah tersedia di area Mushola.

Ketika menapaki tangga demi tangga bagi pengunjung yang terbiasa berjalan akan sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh, mengingat tangga yang ada lumayan cukup mangeluarkan kalori yang ada dalam tubuh.

suasana di atas makam raden Aria Wira Tanu Datar, (foto: istimewa/salakaNews)

Sesampainya di atas dekat pamakaman kita bisa melihat pemandangan dari atas bukit, semua terlihat dengan menawan, dari mulai rumah warga hingga kendaraan pengunjung yang berjejer rapi yang tengah terpakir di tempat yang disediakan. Di dalam tempat ziarah tersedia ruangan untuk rombongan, tanfa harus berdesak-desakan, karena ada panitia yang bertugas mengatur jalannya ritual dalam berdoa.

Seusai ritual dalam mendoakan ahli kubur selesai, langsung kembali kebawah dengan diselingi berswafoto. Dengan mengambil gambar sesuai selera.

Endang(38) selama 10 tahun penjaga makam  mengatakan peziarah yg berkunjung ke tempat ini rata-rata berkisar 300-500an, bahkan pada hari libur jumlahnya mencapai ribuan orang.

“tiap hari para peziarah datang kemari, dengan jumlah yang tidak menentu, paling sedikit, ada 200-450 orang” kata Endang.

warga megalestari residence kota tangerang saat melakukan perjalanan ziarah ke makam raden Aria Wira Tanu Datar, di Cianjur, Jawa Barat. (20/11) (foto: istimewa/salakaNews)

Ketika berkunjung ke makam ini ada beberapa pengunjung yang belum begitu tahu seperti apa Raden Aria Wira Tanu Datar berkiprah dalam menyebarkan agama Islam di Cianjur ini. inilah kisah beliau sebagaimana dilansir dari Wikipedia sebagai berikut:

Raden Aria Wira Tanu 1 yang bernama asli Jayasasana atau Djayasanana  Dalem (Bupati) pendiri kabupaten Cianjur,  lahir di Padaleman Sagaraherang, yang berprofesi sebagai senapati dan Ulama. Raden Aria Wira Tanu atau disebut juga sebagai Raden Jayasasana merupakan putra dari raden Aria Wangsa Goparana.

Berdasarkan silsilah, Raden Aria wangsa Goparana  merupakan anak dari Sunan Ciburang yang merupakan raja dari Kerajaan Talaga. Sunan Ciburang merupakan anak dari Sunan Wanaperih anak dari Sunan Parung Gangsa anak dari Pucuk Umum anak dari Munding Sari Leutik anak dari Munding Sari. Munding Sari merupakan salah satu anak dari  Prabu Siliwangi yang ketika runtuhnya Pajajaran pada tahun 1579 kabur ke daerah Talaga di suku gunung Cereme.

Jadi menurut silsilah, Raden Jayasasana merupakan masih keturunan dari Prabu Siliwangi. Raden Aria Wangsa Goparana yang merupakan ayah dari Raden Jayasasana bersama saudaranya yang bernama Panembahan Giri Laya merupakan generasi pertama dari Munding Sari yang masuk Islam dan menjadi ulama besar serta memiliki Pesantren  di wilayah Sagalaherang.

tangga menuju pemakaman Rd Aria Wira Tanu Datar, Cianjur. (foto: salakaNews)

Karena Raden Aria Wangsa Goparana masuk islam, maka ia diusir dari Talaga dan kemudian berkelana dan sampailah ke Kampung Nangkabeurit yang sekarang masuk ke wilayah Kecamatan Sagaraherang Kabupaten Subang. Di sana ia mendirikan sebuah desa dan menjadi Dalem (kepala negeri). Raden Aria Wangsa Goparana memiliki delapan orang anak yaitu :

  1. Jayasasana
  2. Wiradiwangsa
  3. Candramangala
  4. Santaan Kumbang
  5. Yudanagara
  6. Nawing Candradirana
  7. Santaan Yudanagara
  8. Nyi Murti

Jayasasana sebagai putra pertama Raden Aria Wangsa Goparana terkenal sebagai seorang yang ahli ibadah dan menuntut ilmu. Jayasasana pun disebutkan sering berkhalwat (bertapa) untuk merenung dan bertafakur di tempat – tempat sunyi. Menurut legenda, suatu waktu ketika Jayasasana sedang bertapa, ia kedatangan Jin Muslim yang merupakan gadis cantik. Jin ini tertarik dengan Jayasasana dan kemudian mereka menikah serta memiliki tiga orang anak, yaitu Suryakancana, Indang Kancana atau Indang Sukaesih dan Andaka Wirasujagat.

suasana di atas ketika sudah berada di makam Rd Aria WIra Tanu Datar, Cianjur. pemandanagan terlihat begitu indah. (foto: istimewa/salakaNews)

Berdirinya Cianjur

Kepala Masyarakat

Setelah dewasa, Jayasasana diberikan tanggungjawab oleh ayahnya Dalem Sagaraherang berupa 100 orang rakyat (cacah). Menurut sistem feodalisme saat itu, kekuasaan seorang bangsawan ditentukan oleh banyaknya rakyat yang dipimpin bukan berdasarkan tanah (wilayah). Karena semakin banyak rakyat, maka akan semakin banyak pula wilayah yang ditempati oleh rakyatnya itu.

Bersama keseratus orang itu, Jayasasana kemudian mencari tempat baru ke daerah pedalaman Jawa Barat saat ini dan sampailah ke sungai Cikundul yang saat ini berada di wilayah kecamatan Cikalong Kulon. Di sini mereka bermukim dan membuka lahan baru. Rakyat Jayasasana berpencar tidak bermukin di satu tempat tetapi kebanyakan di Cijagang karena di sanalah pemimpin mereka (Jayasasana) berada. Beberapa tempat yang dihuni rakyat Jayasasana diantaranya adalah di dekat sungai seperti di Cibalagung dan di Cirata.

Meskipun tempat tinggalnya terpencar, mereka masih berada dalam satu kesatuan rakyat Belanda  Volksgemeenschap) dibawah pimpinan Jayasasana. Berdasarkan hukum sosiologi mengenai pembentukan masyarakat, dalam kesatuan rakyat Jayasasana akhirnya lahir tata cara dan aturan bermasyarakat yang harus dipatuhi oleh semua rakyat Jayasasana. Tata cara di setiap masyarakat memiliki sifat bersatu sehingga dalam setiap kesatuan masyarakat ada kesatuan hukum (Belanda : rechtsgemenschap)

Tugas utama seorang kepala masyarakat adalah mengatur kehidupan dan menegakan hukum yang berlaku. Selain daripada itu, ia juga bertugas untuk melindungi rakyatnya jika ada keributan, jika ada rampok atau jika ada serangan dari wilayah lain. Sehingga kepala masyarakat saat itu lebih tepat disebut sebagai Panglima atau Senapati dan bukan disebut sebagai Dalem. Begitupun dengan masyarakat Jayasasana saat itu masih berada dalam tahap kesenapatian. Secara de Jure karena runtuhnya Pajajaran, sebenarnya wilayah yang saat itu ditempati oleh Rakyat Jayasasana adalah dibawah kekuasaan Mataram yang pada praktiknya dibawah kekuasaan Cirebon karena Cirebon merupakan bawahan (vasal) dari Mataram. Maka daripada itu dalam beberapa catatan-catatan VOC rakyat Jayasasana sering disebut sebagai rakyat Cirebon.

Menjadi Dalem dan Mendapat Gelar Wira Tanu

Runtuhnya Pajajaran menyebabkan beberapa daerah merdeka dan menyebabkan beberapa kerajaan berusaha mengklaim wilayah bekas Pajajaran termasuk Kerajaan Sumedang Larang di bawah Prabu Geusan Ulun yang menurut klaimnya bahwa seluruh bekas wilayah Pajajaran adalah wilayah Sumedang Larang. Dalam rangka menegakkan klaimnya, Prabu Geusan Ulun kemudian menyelenggarakan serangkaian kampanye militer untuk menaklukan wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada klaimnya.

Untuk mengatasi kampanye militer Sumedang Larang, Cirebon kemudian memperkuat pertahanan, diantaranya adalah di wilayah Cimapag yang saat itu wilayah Cimapag termasuk ke dalam wilayah tanggungjawab Jayasasana. Maka Cirebon kemudian mengangkat Jayasasana sebagai senapati atau panglima dengan gelar Wira Tanu (Wira Tanu artinya Panglima atau Senapati).

Dalam masa genting seperti itu, beberapa kesatuan masyarakat yaitu :

  1. Cipamingkis dibawah pimpinan Nalamerta;
  2. Cimapag dibawah pimpinan Nyiuh Nagara;
  3. Cikalong dibawah pimpinan Wangsa Kusumah;
  4. Cibalagung dibawah pimpinan Natamanggala;
  5. Cihea dibawah pimpinan Wastu Nagara; dan
  6. Cikundul dibawah pimpinan Jayasasana dengan gelar Wira Tanu

bersepakat untuk menyatakan bahwa wilayahnya bersatu menjadi satu negeri yang bernama Cianjur dan sepakat untuk mengangkat Jayasasana (yang sudah mendapat gelar Wira Tanu) untuk menjadi Dalem. Karena sudah diangkat sebagai dalem (tidak lagi hanya senapati) Wira Tanu kemudian menggunakan gelar Aria, sehingga nama lengkapnya menjadi Raden Aria Wira Tanu.

Berbeda dengan Bandung atau Sumedang, Cianjur merupakan Kabupaten yang berdiri sendiri (merdeka) meskipun secara de jure masih di bawah Mataram melalui Cirebon. Ini terjadi karena ada perjanjian antara Mataram dengan VOC untuk memberikan wilayah antara Cisadane-Citarum menjadi wilayah VOC menurut kontrak tanggal 25 Februari 1677.

Penentuan Hari Jadi Cianjur

Seperti telah diketahui, Cianjur pada awalnya adalah wilayah Mataram melalui Cirebon. Pada tahun 1670-1677 bisa disebutkan sebagai 7 tahun kebebasan dari kekuasaan Mataram, hal ini terjadi karena pada tahun 1670 klaim Mataram atas wilayah-wilayahnya sudah berkurang karena fokus berperang dengan VOC, sedangkan pada tahun 1677 Mataram secara yuridis telah menyerahkan kekuasaannya di antara wilayah Cisadane-Citarum kepada VOC.

Namun karena keterbatasan VOC, VOC belum bisa menjajah wilayah yang didapatnya dari Mataram secara intensif. Jadi meskipun secara de facto wilayah tersebut merdeka tetapi secara de jure status mereka adalah jajahan VOC.

Pada tanggal 2 Juli 1677, Trunojoyo menyerbu istana Plered dan Amangkurat 1 kabur bersama Mas Rahmat. Kesempatan ini dijadikan titik tolak lepasnya wilayah-wilayah jajahan Mataram secara de facto. Berita ini baru sampai ke Cianjur pada tanggal 12 Juli 1677, sehingga secara de facto pada tanggal 12 Juli 1677 Cianjur merdeka dari Mataram.

Kemerdekaan yang dicapai sebenarnya hanya de facto karena secara de jure, Cianjur sudah berada di wilayah VOC berdasarkan kontrak tanggal 25 Februari 1677. Namun karena VOC belum mampu mengelola daerah jajahannya sehingga Wira Tanu pada waktu itu berhasil menjadi Dalem secara Mandiri tanpa diangkat oleh VOC maupun oleh Raja/Sultan yang lain. Sehingga menurut catatan VOC/Belanda, bupati regent Cianjur yang pertama bukanlah Wira Tanu I tetapi anaknya yaitu Wira Tanu II.

(tam)