Melihat Perjalanan SMK ATTORIQO MAHMUDDAN Berdiri, Dede Menyulap Rumah Jadi Sekolah

0
1061
views
Dede. Kepala sekolah SMK Attoriqo Mamuddan. (Foto: Dok)
                                                       

Salakanews – Pandeglang. Untuk memulai perubahan bagi lingkungan sekitar tak dapat dicapai secara mudah, butuh perjuangan, berfikir keras, tenaga, dan pengorbanan yang harus dilakukan secara ikhlas, tak hanya materi tapi juga non materi yang terkadang lebih banyak mendapatkan resiko yang lebih besar. Hal itulah yang pernah dialami oleh Dede Rohimin, S.Pd,I, Pria yang kesehariannya dihabiskan di sekolah ini memiliki kegigihan luar biasa dalam merealisasikan mimpi-mimpinya, mengawali kiprahnya di dunia pendidikan dengan terseok-seok, bahkan hampir saja mengorbankan kehidupan rumah tangganya ke jurang perceraian, dikarenakan pengorbanannya pada dunia pendidikan.

Dede memulai kiprahnya pada dunia pendidikan sebagai guru bahasa Inggris di MTs. Cibarani dari tahun 2007 sampai dengan sekarang (2017), keberadaan sekolah yang ada di daerah Dede yaitu di kecamatan Cisata terbilang masih sedikit, dan jauh dari keberadaan di mana ia tinggal bersama orang-orang yang mayoritas terbilang jauh dari kata sejahtera, pada saat peoses belajar mengajar itulah kemudian Dede berpikir bagaimana jika di daerahnya berdiri sebuah sekolah menengah kejuruan atau sekolah mengah atas yang sederajat, gagasan itu muncul pada saat di daerahnya banyak sekali anak putus sekolah anak-anak masih produktif melanjutkan sekolah hanya sebagian besar hanya pada tingkat SMP/MTs. Namun setelah itu lebih banyak yang memilih putus sekolah dari pada melanjutkan ke tingkat SMA dan sederajat. Melihat kondisi itu kemudiania ia mengambil inisiasi untuk penyelenggaraan pendidikan setingkat SLTA dengan menginduk ke sekolah SMK Karya Bakti yang berada di kecamatan Pagelaran dengan jarak tempuh 12 kilo meter dari tempat ia menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar tersebut.

Dengan mantap disertai dengan mengucapkan bismillah Dede mulai menyelenggarakan kegiatan pendidikan SMK pada tahun 2012 dengan jumlah murid kurang lebih 12 orang siswa, tahun berikutnya jumlah itu bertambah sebanyak 36 siswa, begitu juga tahun berikutnya jumlahnya tidak berkurang malah bertambah sampai  55 siswa. Bertambahnya jumlah siswa membuat Dede makin gelisah karena minimnya pasilitas dan ruang belajar.

Berdasarkan penuturannya pada Salakanews. proses perjalanan panjang dalam mendirikan sekolah yang kini sedikit demi sedikit sudah membuahkan hasil ke arah yang lebih baik. Diawali dengan meminjam gedung madrasah milik warga sekitar, yang saat itu digunakan pada sore hari.

Ia membuka sekolah menengah kejuruan swasta yang saat itu menginduk pada Yayasan Karya Bakti dengan nama SMK Karya Bakti yang berada di kecmatan Pagelaran kabupaten Pandeglang, meski sekolah yang ia jalankan menginduk kepada sekolah yang jauh, namun semangatnya untuk tetap mengabdikan diri pada pendidikan tidaklah surut.

“SMK Karya Bakti lumayan cukup jauh antara jarak sekolah yang sy jalankan dengan sekolah tempat kami menginduk” tuturnya. Namun demikian keinginannya untuk menyelenggarakan pendidikan di desanya yang notabene masyarakatnya masih banyak yang putus sekolah, sehingga ia bertekad untuk terus melaksanakan tujuan mulianya itu.

Di awal penyelenggaraan pendidikan Dede bergerak tidak sendiri dengan dibantu oleh beberapa temannya yang turut memperjuangakan dalam  penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar ini, tetapi lambat laun teman-temanya mulai tidak tahan dengan semakin menurunnya semangat dalam mengelola pendidikan tersebut, masalahnya hanya satu, yaitu faktor keuangan yang tidak bisa lagi ditutup-tutupi, selain jumlah murid yang menyusut disebabkan kondisi lingkungan yang nyaris tidak mendukung sarana dan prasarana, ditambah lagi gaji guru yang sering molor. Sadar akan kondisi ini Dede, ahirnya mencari akal agar kegiatan belajar mengajar tetap bertahan, sehingga semua siswa dan seluruh dewan guru tetap ia pompa semangatnya,

Setelah semangat itu kembali muncul dari dewan guru dan juga siswa, datanglah persoalan baru, ketika tahun ajaran baru tiba, sarana ruang kelas tidak memadai untuk menampung kegiatan para siswa yang akan belajar, karena terbatasnya sarana ruang kelas yang terpakai, itu pun masih dalam kapasistas pinjam pada sekolah madrasah milik warga.

Hari-hari berlalu, minggu bahkan bulan pun berganti, belajar sudah dimulai, guru-guru mulai cemas dengan kekurangan pasilitas yang ada, sementara para siswa direlokasi ke tempat yang seadanya, yaitu alam terbuka, bersama guru sejumlah siswa melakukan kegiatan belajar di bawah pohon yang tak jauh dari sekolah yang serba terbatas. Dede mulai berpikir keras ia tidak mau berlama-lama membiarkan kondisi buruk itu menghampiri pada semua guru dan juga siswa, mencari bantuan ke sana ke mari tak kunjung juga datang, baik ke pemerintah maupun pihak swasta belum ada yang nyangkut. Tak banyak pikir lagi ahirnya ia bermusyawarah dengan keluarganya jika membicarakan sesuatu yang sangat berat untuk diputuskan, yaitu menjadikan rumahnya untuk dipergunakan sebagai ruang kelas.

“saya tidak punya pilihan lagi pak, hanya ada satu cara, yaitu membongkar sepetak rumah untuk dijadikan sebagai ruang kelas bagi siswa untuk dijadikan ruang belaja” tuturnya.

Pada saat rumahnya dibongkar, tak banyak orang yang tahu jika ini adalah sebuah langkah besar untuk menyelamatkan siswa yang sudah masuk ke sekolah yang ia selenggarakan, beberapa tetangga yang mulai mengetahui langkah Dede banyak yang salut sekaligus terharu akan perjuangannya,

                               Saat pembongkaran  rumah Dede yang akan dijadikan ruang kelas. (Foto: Dok)

 

pada tahun 2014 Dede, mendirikan Yayasan dengan nama  Attoriiqo Mahmuddan,

“nama ini diambil sdengan harapan semoga menambah keberkahan” ucapnya tersenyum, sejak didirikannya yayasan tersebut, kini Dede tidak lagi menginduk ke sekolah yang lama, sehingga ia Fokus melaksakan kegiatan penyelenggaraan pendidikan. Selain itu dalam mengambil setiap keputusan yang ada di sekolah tidak lagi melibatkan orang lain seperti pada saat ia menginduk ke SMK Karya Bakti, namun demikian ia pun tak luput dari rasa syukurnya atas ilmu dan pengalaman sehingga ia belajar banyak pada sekolah induk yang dulu ia menggantungkan setiap pekerjaan yang berkaitan dengan pendidikan. Kini penyelenggaraan sedikit demi sedikit diselesaikannya dengan baik, meski masih banyak yang harus dilakukan dalam mengembangkan potensi sekolah yang ia dirikan.

Setelah yayasan berdiri, ia kemudian berinisiatif mencari tanah kosong yang tidak jauh dari tempat ia tinggal, seluas 2300 m2 kini ia dapatkan, dengan cara dicicil, ada 3 lokal yang baru dibangun dan itupun dari hasil jerih payahnya dalam melobi pemerintah daerah untuk mendapatkan bantuan. Tetapi ruang kelas itu masih belum juga dirasa cukup sehingga siswa sering belajar di luar kelas. Menariknya para pengjar tidak kehilangan akal agar para siswa dapat menikmati suasana di alam bebas, “selain memberikan mata pelajaran wajib, para guru juga dapat memberikan motivasi pada anak-anak (siswa-red.)” ujar  Miftahul Hakim salah seorang guru yang mengajar di sekolah itu.

Siswa ATTORIIQO MAHMUDDAN sedang belajar di alam bebas, ini bentuk pendekatan mengajar yang dilakukan oleh guru kepada siswa untuk dapat memahami pentingnya bersahabat dan mencintai alam. (foto: Dok)

 

Hampir semua guru mengajar di luar kelas dengan alam yang terbuka, dan pemandangan masih asri, sedangkan siswa yang biasa belajar di luar ialah kelas X1b, mengingat masih terbatasnya ruang lokal, ada pun yang biasa gunakan dalam satu ruang biasanya dibuat dua kelas dengan diberi pembatas  triplek seperti bedeng. “tapi itu tak membuat siswa terganggu, malah lebih terasa suasana lain ketika belajar seperti itu” ujar Dede pungkasnya. (tama)