Keadaan Politik Identitas di Pemilu 2024, Apakah Masa Kelam Pemilu Sebelumnya Akan Kembali Terjadi?

0
163
views

Ditulis oleh Rashina Zahra Fadilla (Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB University)

Rashina Zahra Fadilla

Apakah Anda mengingat julukan Cebong dan Kampret? Julukan tersebut sangat populer pada masa pemilu 2019. Hal tersebut terjadi karena adanya politik identitas. Lalu, bagaimana fenomena politik identitas itu dapat terjadi? Fenomena tersebut  terjadi pada Pilpres Indonesia tahun 2019, di mana kedua pasangan kandidat sama – sama berusaha memenangkan hati para masyarakat muslim yang mencapai 160 juta jiwa atau sekitar 85% dari total jumlah pemilih. Di tahun itu, Joko Widodo yang sejak pemilu 2014 dianggap “kurang muslim” sampai menggandeng Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma’ruf Amin, sebagai calon Wakil Presidennya untuk memikat pemilih muslim. Sedangkan Prabowo Subianto menggunakan kedekatannya dengan Front Pembela Islam (FPI) serta dukungan dari ijtima ulama untuk memikat pemilih muslim. Hal tersebut dilakukan oleh kedua paslon secara terang – terangan sehingga menimbulkan ragam sentiment publik.

Politik Identitas dan Beragam Contoh Kejadiannya di Masa Lalu

Dikutip dari Syafii Ma’arif dalam bukunya “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia”, menjabarkan, Politik Identitas ialah politik yang berkaitan dengan etnisitas, agama, ideologi dan kepentingan kepentingan lokal yang diwakili umumnya oleh para elit politik. Politik identitas merupakan salah satu strategi politik yang menjual sentimen identitas tertentu, seperti suku, ras, Agama, dan golongan untuk dijadikan alat politik. Misalnya seorang politikus yang berasal dari Sumatera akan meyakinkan masyarakat yang juga berasal dari Sumatera untuk memilihnya karena asosiasi dari identitas yang sama.

Peristiwa Politik Identitas yang menjadi perbincangan hangat publik sejak Pilkada DKI Jakarta pada 2017. Politik identitas islam dianggap mampu ‘menggerakan’ massa. Dibuktikan dengan kalahnya Basuki Tjahya Purnama dalam pilkada itu meski saat menjabat menjadi gubernur DKI. Padahal warga sangat puas dengan hasil kerjanya. Tidak hanya di Indonesia, Politik identitas juga terjadi di negara lain, seperti di Amerika. Politik identitas disana semakin kompleks karena Amerika sendiri merupakan salah satu negara yang memiliki banyak kelompok yang mengkategorikan diri dalam identitas tertentu, seperti kelompok masyarakat berdasarkan ras, gender, dan masih banyak lagi. Setiap kelompok pasti memperjuangkan ketahanan eksistensi identitas kelompoknya.

Jadi, sangat jelas bahwa strategi politik ini dapat membuat perpecahan di masyarakat. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Litbang Kompas yang menunjukan 79,1% responden menilai adanya keterbelahan semenjak pemilu 2019 di Indonesia. Dan sebanyak 36,3% responden menilai adanya perpecahan ini karena para influencer atau provokator yang memperkeruh suasana.

Keadaan Politik Identitas dalam Pemilu 2024

Keadaan Pemilu 2024 dapat dibilang lebih baik dari pemilu sebelumnya. Hal tersebut dapat terjadi karena tingkat kecerdasan masyarakat dalam berpolitik semakin membaik. Masyarakat cenderung tenang tidak terlalu banyak sentimen negatif terkait ketiga paslon mengenai kampanyenya. Pemahaman masyarakat terhadap hoax dan politik identitas yang meningkat membuat tahun politik kini berkesan tenang dan damai tidak seheboh pemilu sebelumnya.

Namun, menjelang beberapa pekan pemilu yang akan dilaksanakan pada 14 Februari masyarakat dibuat bingung dengan adanya pernyataan fatwa ulama se-awa Barat yang mewajibkan umat islam untuk memilih paslon nomor satu sebagai presiden selanjutnya demi pertanggung jawaban dunia akhirat. Dilansir dari laporan wartawan Tribun Jabar ratusan ulama jabar yang memutuskan untuk mendukung paslon nomor satu dengan mengeluarkan fatwa “Umat Islam harus dibimbing dan diarahkan dan kami nyatakan wajib memilih Amin dengan pertanggungjawaban dunia akhirat”.  Pernyataan disampaikan oleh Multaqo, seorang tokoh ulama jabar. Hal tersebut dianggap membingungkan umat islam untuk memilih presiden selanjutnya. Pasalnya kata wajib dalam islam itu berarti suatu yang harus dilakukan dan jika dilanggar akan berdosa. Hal tersebut tentunya akan membatasi masyarakat terutama umat islam dalam bebas bersuara.

Di sisi lain dengan uniknya di pekan yang sama muncul pernyataan dari Wakil Menteri Kominfo yang mengungkapkan bahwa politik identitas dan hoax di Pemilu 2024 menurun. Dilansir dari CNN Indonesia Wamen Kominfo memberikan pernyataan saat siaran pers Kominfo di akhir Januari 2024, bahwa ada penurunan pemakaian politik identitas. Hal itu dapat terjadi karena masyarakat yang semakin paham cara menanggapinya. Namun, tidak dapat dipungkiri dengan adanya pernyataan fatwa ratusan ulama Jawa Barat yang mewajibkan untuk memilih salah satu paslon cukup membingungkan masyarakat. Apakah ini salah satu bukti kejadian politik identitas masa lalu terjadi kembali?

Masyarakat Indonesia kini telah menjadi semakin proaktif dalam menanggapi suatu peristiwa. Maka dari itu, pernyataan mengenai fatwa ratusan ulama yang mewajibkan untuk memilih paslon nomor satu tidak terlalu digubris. Memang benar pernyataan itu membuat bingung masyarakat saat mendengarnya, namun masyarakat Indonesia yang kini telah semakin dewasa dalam menanggapi hal tersebut menjadikan suasana Pemilu 2024 menjadi tetap tenang.

Jadi, kita sebagai masyarakat demokratis jangan sampai terpengaruh oleh Politik Identitas yang di terapkan oleh para pelaku politik. Pemilihan Umum memang sudah seharusnya dilakukan secara demokratis tanpa menggunakan politik Identitas, hal itu berdasar pada salah satu Undang-undang Republik Indonesia No.42 Tahun 2008, tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yaitu: “Bahwa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil untuk  memilih Presiden dan Wakil Presiden”

Salah satu cara untuk menjauh dan tidak terpengaruh oleh praktik politik identitas ialah dengan pemanfaatan komunikasi yang benar dengan cara meningkatkan literasi digital. Masa kini yang serba digital membebaskan setiap orang untuk menyebarluaskan informasi. Dengan kebebasan distribusi informasi ini, kita sebagai masyarakat yang baik perlu meningkatkan literasi digital. Literasi digital bukan hanya tentang cara kita menginterprestasikan pesan melainkan cara kita untuk membuat pesan atau informasi juga. Oleh karena itu, meningkatkan literasi digital ialah langkah awal bagi kita untuk maju supaya tidak mudah terpengaruh oleh informasi – informasi yang simpang siur mengenai politik di tahun politik seperti sekarang. Jika kita dapat memahami pesan yang ada di luar sana dengan baik, tentunya kita tidak akan gampang terpengaruh oleh praktik politik yang memanfaatkan keberagaman masyarakat kita dan dapat memicu pecahnya persatuan dan kesatuan NKRI.

Kita harus tetap menghargai perbedaan dan berani penyampaian pendapat tentunya dengan cara yang benar. Keragaman yang kita miliki harus menjadi kekuatan kita bukannya menjadi senjata para elit politik. Sesuai dengan pedoman kita “Bhineka Tunggal Ika” berbeda – beda tetapi tetap satu, jangan biarkan kita dikendalikan oleh para pelaku politik yang menggunakan startegi politik identitas untuk mendapatkan suara. Jika dibiarkan terjadi terus menerus, politik identitas akan menggoyahkan stabilitas bangsa karena perbedaan yang seharusnya menjadi kekuatan kita justru dijadikan senjata demi kepentingan pihak tertentu. Oleh karena itu,  mari menjadi masyarakat yang cerdas dan cermat dalam memilih pemimpin masa depan tanah air kita.