“Masyarakat Menjadi Sulit Mengenali Mana Penegak Hukum yang Jujur dan tidak Terpengaruh oleh Mafia dengan para Penegak Hukum yang sudah Terkontaminasi.”
Oleh : Dede Kurniawan
Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya.
Hukum di Indonesia yang bisa kita lihat khususnya mengenai tindak pidana di televisi, surat kabar, dan media elektronik lainnya yaitu mulai dari tindak pidana maling sandal hingga maling uang rakyat.
Banyak kasus hukum yang diselesaikan secara tidak adil, dimana para penegak hukum memiliki peran ganda sebagai mafia hukum secara tidak kasat mata.
Para mafia hukum inilah yang memporak-porandakan sistem hukum yang berlaku di tanah air kita. Gencarnya aksi mafia hukum tersebut disambut kritik dan protes yang tajam dari masyarakat.
Mafia hukum terdiri akar kata mafia dan hukum. Mafia berasal dari bahasa Sisilia Kuno, Mafiusu, yang diduga mengambil kata Arab “mahyusu” yang artinya tempat perlindungan atau pertapaan. Setelah revolusi pada 1848, keadaan pulau Sisilia kacau sehingga mereka perlu membentuk ikatan suci yang melindungi mereka dari serangan bangsa lain dalam hal ini bangsa Spanyol. Nama mafia mulai terkenal setelah sandiwara dimainkan pada1863 dengan judul Mafusi De La Vicaria “Cantiknya Rakyat Vicaria”, yang menceritakan tentang kehidupan geng penjahat di penjara Palermo.
Dari beberapa sumber ada dua bentuk pengertian dari mafia hukum ini, yaitu penyebutan mafia hukum dan mafia peradilan.Pertama, Mafia Hukum disini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-Undang oleh Pembuat undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik hukum di Indonesia nuansa politis dalam pembuatan Peraturan Perundang-undangan dapat saja dibenarkan sebagai suatu ajaran keputusan politik yang menyangkut kebijakan politik, namun nuansa politis di sini tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi “politik hukum” yang bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka panjang.
Sedangkan mafia peradilan, misalnya makelar kasus, suap menyuap, pemerasan, mengancam pihak-pihak lain, pungutan-pungutan yang tidak semestinya, dan sebagainya. Mafia Peradilan sulit dibuktikan keberadaanya.
Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, mafia adalah suatu organisasi kriminal yang hampir menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Istilah mafia merujuk pada kelompok rahasia tertentu yang melakukan tindak kejahatan terorganisir, sehingga kegiatan mereka sangat sulit dilacak secara hukum.
Ada pengertian lain dari mafia hukum ini, Istilah mafia disini menunjuk pada adanya “suasana” yang sedemikian rupa sehingga perilaku, pelayanan, kebijaksanaan maupun keputusan tertentu akan terlihat secara kasat mata sebagai suatu yang berjalan sesuai dengan hukum padahal sebetulnya “tidak”. Dengan kata lain mafia peradilan ini tidak akan terlihat karena mereka bisa berlindung dibalik penegakan dan pelayanan hukum.
Masyarakat menjadi sulit untuk mengenali mana penegak hukum yang jujur dan tidak terpengaruh oleh mafia dengan para penegak hukum yang sudah terkontaminasi.
Mafia Peradilan dalam perkara pidana mencakup semua proses pidana sejak pemeriksaan di kepolisian, penututan di kejaksaan, pemeriksaan di semua tingkat peradilan, sejak pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Misalnya perihal Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) di tingkat kepolisian maupun kejaksaan.
SP3 ini tidak mungkin bisa diterbitkan gratis. Pasti ada harganya. Harganya bisa dalam rupiah maupun keuntungan politis tertentu. Hak penyidik, penuntut umum atau hakim untuk menahan atau tidak menahan seseorang tersangka atau terdakwa adalah wilayah paling rawan terjadinya transaksi yang sifatnya monitor. Hukum acara yang mendasari wewenang untuk menahan memang lemah. Hanya atas dasar kekhawatiran maka para penegak hukum ini dengan mudah dapat melakukan penahanan terhadap tersangka.
Rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah bukti bahwa ternyata mafia itu ada. Makelar itu punya akses VIP ke orang-orang VVIP di puncak-puncak badan penegak hukum. Mafia itu kuat dan bahkan bisa menjebloskan orang, memerangkap orang, dan mengatur berbagai kesaksian agar bisa dipercepat dan dieksekusi badan penegak hukum.
Rekaman selama beberapa jam itu membeberkan misteri yang selama ini hanya diketahui sepotong-sepotong dan tidak ada bukti yang jelas. Jika diungkapkan ke publik pun akan dikenai pasal pencemaran nama baik. Mereka adalah korps tidak terlihat, tangan-tangan yang mengatur semua perkara apa yang bisa diselesaikan sesuai permintaan.
Busyro Muqoddas membeberkan modus operandi dari mafia hukum ini. Menurutnya, ada empat modus operandi mafia peradilan di Indonesia.
Modus pertama, adalah penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. “Kalau ditanyakan ke panitera, akan dapat sinyal bahwa hakim minta sesuatu”.
Modus kedua, adalah manipulasi fakta hukum. “Hakim sengaja tidak memberi penilaian terhadap suatu fakta atau suatu bukti tertentu sehingga putusannya ringan atau bebas”.
Modus ketiga, adalah manipulasi penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Majelis hakim, mencari peraturan hukum sendiri sehingga fakkta-fakta hukum ditafsirkan berbeda.
Modus keempat, adalah pencarian peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan jaksa beralih ke pihak lain. Terutama pada kasus korupsi. “Dibuat agar terdakwa melakukan hal tersebut atas perintah atasan sehingga terdakwa dibebaskan”.
Selain itu, terdapat bentuk-bentuk dan modus operandi dari mafia hukum mulai dari kepolisian hingga di lembaga pemasyarakatan;
Tahap Penyelidikan (Di Kepolisian) Permintaan uang jasa. Laporan ditindak lanjuti setelah menyerahkan uang jasa, penggelapan perkara, penanganan perkara dihentikan setelah ada kesepakatan membayar sejumlah uang pada polisi.
Tahap Penyidikan (Di Kepolisian) Negosiasi perkara, tawar menawar pasal yang dikenakan terhadap tersangka dengan uang yang berbeda-beda, menunda surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada kejaksaan, pemerasan oleh Polisi, tersangka dianiaya lebih dulu agar mau kooperatif dan menyerahkan uang, mengarahkan kasus lalu menawarkan jalan damai, pengaturan ruang Tahanan, penempatan di ruang tahanan menjadi alat tawar menawar.
Pemerasan (Di Kejaksaan) Penyidikan diperpanjang untuk merundingkan uang damai, Surat panggilan sengaja tanpa status “saksi” atau “tersangka”, pada ujung agar statusnya tidak menjadi “tersangka”.
Negosiasi Status, perubahan status tahanan seorang tersangka juga jadi alat tawar-menawar.
Pelepasan Tersangka, melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau sengaja membuat dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga terdakwa di vonis bebas.
Penggelapan Perkara, berkas perkara dapat dihentikan jika memberikan sejumlah uang.
Negosiasi Perkara, proses penyidikan yang diulur-ulur merupakan isyarat agar keluarga tersangka menghubungi jaksa. Dapat melibatkan Calo, antara lain dari kejaksaan, anak pejabat, pengacara rekanan jaksa. Berat atau kecilnya dakwaan menjadi alat tawar menawar.
Pengurangan Tuntutan, tuntutan dapat dikurangi apabila tersangka memberikan uang. Berita acara pemeriksaan dibocorkan saat penyidikan. Pasal yang disangkakan juga dapat diperdagangkan.
Penulis coba menguak realitas Mafia Hukum dan Mafia Peradilan di Indonesia sebagai upaya membuka mata masyarakat agar tidak terjebak di dalam proses pencari keadilan, karena kebenaran pasti akan menang walau terkadang berliku dalam perjalanannya, karena itu merupakan skenario Tuhan untuk menguji hambanya terhadap keyakinannya atas kebenaran dan pada gilirannya pasti kebenaran itu akan menang, karena penulis yakin dari 10 orang sebagai penegak hukum, 9 orang menjadi mafia hukum dan/atau mafia peradilan, ada 1 orang penegak hukum yang tidak merasa paling benar tapi berpegang pada kebenaran.***
Penulis adalah Pengurus Ikatan Sarjana Nahdatul Ulama (ISNU) Kabupaten Pandeglang