Mengawal Integritas Penyelenggara Pemilu Dalam Menyambut Pemilu Serentak 2019

0
396
views
Gambar pemilu 2018-2019. (foto: net)

Jika penyelnggara Pemilu tidak berintegritas, maka akan dengan mudah orang-orang yang punya kepentingan bisa melakukan penyuapan untuk jual beli suara dan modus-modus lainnya untuk mensukseskan keinginan pribadi dan/atau kelompoknya (Partai, Pengusaha, Pemerintah yang sedang berkuasa) Dede Kurniawan

Pemilihan umum DPR, Presiden dan Wakil Presiden, DPD, DPRD diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E Ayat (5) menyebutkan bahwa Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Persyaratan untuk menjadi Penyelenggara KPU dan BAWASLU sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182).

Tugas KPU beserta seluruh jajarannya adalah menyelenggarakan Pemilu dan tugas BAWASLU beserta seluruh jajarannya adalah mengawasi penyelenggaraan Pemilu. KPU dan BAWASLU beserta seluruh jajarannya harus mandiri, artinya tidak bisa diintervensi oleh siapapun dan/atau lembaga manapun, jika itu terjadi maka akan mencederai nilai-nilai demokrasi yaitu Pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Dalam buku laporan Tahunan ( Annual Report) 12 Juni 2015 – 12 Juni 2016 Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP) bahwa dari jumlah Provinsi, Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia, sebanyak 53 persen daerah yang melangsungkan Pemilukada Serentak tahap pertama, yaitu 269 daerah yang terdiri dari 9 Provinsi, 36 Kota, dan 224 Kabupaten.

9 Provinsi yang melaksanakan pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur, yaitu;

(1). Kalimantan Utara, (2). Kalimantan Tengah, (3). Sumatera Barat, (4). Kepulauan Riau, (5). Bengkulu, (6). Sulawesi Utara, (7). Provinsi Jambi, (8). Sulawesi Tengah, dan

(9). Kalimantan Selatan. Pada Pemilukada tahap Pertama ini, Sumatera Utara merupakan Provinsi terbanyak yang mengikuti Pemilukada, yaitu sejumlah 17 Kabupaten dan 6 Kota, di mana 14 Kabupaten/Kota masa pemerintahan Kepala Daerahnya berakhir di tahun 2015, dan

9 daerah lain berakhir di semester pertama tahun 2016.

Pasal 201 ayat (1-7) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi menyebutkan bahwa Tahap Pertama, Desember 2015 untuk Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 sampai pada bulan Juni 2016. Tahap Kedua, Februari 2017 untuk Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir pada Juli -Desember 2016 dan

  1. Tahap Ketiga, Juni 2018 untuk Kepala Daerah yang jabatannya berakhir pada 2018 dan 2019. Tahap Keempat, Tahun 2020 untuk Kepala Daerah hasil pemilihan 2015. Tahap Kelima, pada 2022 untuk Kepala Daerah hasil pemilihan pada 2017. Tahap Keenam, pada 2023 untuk Kepala Daerah hasil pemilihan 2018. Baru pada Tahap Ketujuh, tahun 2027. Pemilukada Serentak nasional betul-betul akan dapat dilaksanakan secara nasional.

Pemilukada Serentak 2015 adalah tonggak sejarah bangsa yang diyakini kesuksesannya akan menular untuk Pemilukada Serentak pada tahapan-tahapan selanjutnya, terlepas dari beberapa kekurangan, termasuk 5 (lima) daerah yang pelaksanaannya sempat tertunda (Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Manado, Kota Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Fakfak).

Dalam konteks Pengaduan terkait Kode Etik Penyelenggara Pemilu, dalam kurun 12 Juni 2015 – 15 Mei 2016, DKPP mencatat sebanyak 92 pengaduan terkait Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Untuk Pemilukada DKPP mencatat sebanyak 493 pengaduan. Banyaknya pengaduan tersebut menjadi parameter bahwa para pemangku kepentingan menginginkan penyelenggaraan Pemulikada yang mandiri, berintegritas, dan dapat dipercaya (credible).

Dewan Kehormatan Penyelenggara  Pemilu Republik Indonesia ( DKPP RI) melaporkan hasil kinerjanya dalam bentuk buku laporan Tahunan ( Annual Report) 12 Juni 2015 – 12 Juni 2016.  Modus pelanggaran KPU dan BAWASLU diantaranya Manipulasi, penyuapan, perlakuan tidak adil, pelanggaran hak pilih, kerahasiaan suara dan tugas, penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan, kelalaian pada proses pemilu, intimidasi dan kekerasan, pelanggaran hukum, tidak adanya upaya hukum yang efektif, penipuan saat pemungutan suara, pelanggaran netralitas, ketidakberpihakan, dan kebebasan, konflik internal institusi.

Dari hasil kinerja laporan Tahunan DKPP RI 2015-2016 juga diketahui bahwa modus pelanggaran paling banyak adalah pelanggaran netralitas dan imparsialitas, disusul berikutnya kelalaian pada proses Pemilu, ketiadaan mekanisme penyelesaian hukum yang efektif, dan perlakuan tidak adil. Sepanjang periode 12 Juni 2015-15 Mei 2016 DKPP telah memeriksa hampir 200 perkara dengan jumlah Teradu mencapai 875 orang, termasuk yang tercatat melakukan pelanggaran ada di Provinsi Banten.

Putusan DKPP dapat berupa rehabilitasi, teguran tertulis/peringatan, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap. DKPP memutuskan rehabilitasi manakala Teradu tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Sedangkan putusan teguran tertulis/peringatan dijatuhkan kepada Teradu yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik kategori ringan dan sedang. Apabila Teradu terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat maka DKPP dapat menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara ataupun pemberhentian tetap.

Melihat fakta-fakta diatas tidak menutup kemungkinan bahwa KPU dan BAWASLU baik dari tingkat Pusat sampai ke Level Daerah dan Desa yang baru terpilih menjadi penyelenggara Pemilu banyak yang diragukan integritasnya, karena jika penyelnggara Pemilu itu tidak berintegritas, maka akan dengan mudah orang-orang yang punya kepentingan dalam Pemilu 2019 bisa melakukan penyuapan untuk jual beli suara dan/atau modus-modus yang lainnya untuk mensukseskan keinginan pribadi dan/atau kelompoknya (Partai, Pengusaha, Pemerintah yang sedang berkuasa), yang padahal penyelnggara Pemilu itu punya tugas untuk mensukseskan Pemilu, bukan untuk mensukseskan pribadi, Partai Politik, dan/atau Pemerintah yang sedang berkuasa.

Penulis berpendapat menghadapi Pemilu Serentak 2019, Kita sebagai masyarakat yang cerdas harus terus mengawal integritas penyelenggara Pemilu baik di tingkat Pusat sampai ke level Daerah dan Desa untuk mewujudkan Pemilu berintegritas. Jika ada modus-modus penyelenggara Pemilu, khususnya yang dilakukan oleh KPU dan BAWASLU baik di tingkat Pusat dan/atau level Daerah dan Desa seperti pelanggaran netralitas dan imparsialitas, kelalaian pada proses Pemilu, ketiadaan mekanisme penyelesaian hukum yang efektif, dan perlakuan tidak adil maka segera kumpulkan bukti-bukti pelanggaran tersebut dan laporkan ke DKPP RI bisa melalui www.dkpp.go.id. ***

Penulis adalah Sekretaris Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama kabupaten Pandeglang dan terdaftar sebagai anggota PERADIN