Propaganda Melalui Hoax dan Hate Speech Dalam Bingkai Kekuasaan di Indonesia

0
1550
views
Gambar ilustrasi Hoax. (foto: Salakanews)

‘Pelaku propaganda legin jeli dalam menggunakan saluran informasi untuk dapat melakukan misinya, semakin baik saluran informasi yang ia gunakan semakin efektif propaganda tersebut mempengaruhi khalayak’

Oleh: Dede Kurniawan

Salah satu tujuan negara yang tertuang didalam konstitusi yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Mendengar dan membaca kata propaganda merupakan kegiatan komunikasi yang tergolong tua, dan cukup terkenal penggunaanya di kandang politik. Pengertian propaganda berkembang jauh sejak kata tersebut di gunakan oleh Paus Urban VIII (Gereja Roma).

Di dalam kamus Oxford propaganda adalah suatu perhimpunan atau program untuk menyebarkan suatu doktrin. Pada perkembangan selanjutnya pengertian propaganda menjadi sesuatu yang bersifat pembohongan dan manipulasi. Perubahan ini ditelusuri, sejak digunakannya propaganda secara resmi sebagai suatu teknik perang dalam dunia I ketika pembohongan, dalih politik dan kisah kekejaman dilakukan dalam upaya untuk mencapai tujuan perang.

Maka satu hal yang perlu kita cermati adalah pelaku propaganda lebih jeli dalam menggunakan saluran informasi untuk dapat melakukan misinya, semakin baik saluran informasi yang digunakan semakin efektif propaganda tersebut mempengaruhi khalayak. Tokoh Massa yang menjadi sumber berita lebih mudah melakukan propaganda terhadap masyarakat. Istilah propaganda ini kemudian diadopsi secara sosiologis oleh Gereja Roma Katolik dalam arti penyebaran ide-ide atau doktrin-doktrin agama kristen kepada masyarakat secara terencana.

Hal ini menjadi sangat berbahaya ketika Publik Pigur atau Tokoh Massa tersebut melakukan propaganda yang sifatnya mendistorsikan fakta yang ada, jumlah orang yang terpengaruh dengan distorsi fakta tentunya signifikan. Lebih berbahaya jika yang melakukan distorsi adalah entitas yang paling dianggap kredibel untuk membuat propaganda, yaitu pemerintah.

Mengutip pendapat Rocky Gerung bahwa pembuat hoax terbaik adalah Penguasa, dan itu menjadi relevan ketika diterapkan dalam semua media. Secara konsensus hal tersebut dipahami bahwa Pemerintah adalah artikulasi dari rakyat, sehingga propagandanya dianggap berasal dari suara rakyat, yang pada faktanya tidak selalu begitu. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik bahwa Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik bahwa Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan.

Selanjutnya ketentuan pidana Pasal 28 ayat (1), (2) tersebut di atas diatur dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik bahwa: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Undang-undang diatas ternyata tidak dapat menyelesaikan persoalan dengan baik, Hoax dan Hate Speech nyatanya masih terus berlangsung hingga saat ini. Pertanyaannya kemudian apakah Propaganda melalui Hoax dan Hate Speech ini dipakai oleh Pemerintah yang sedang berkuasa? Sebagai contoh Apakah propaganda melalui Hoax dan Hate Speech ini dipakai orang dan/atau lembaga yang punya kepentingan menghadapi Pemilu?

Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi menyatakan bahwa Media massa merupakan jenis media yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Ditujukan kepada khalayak yang tersebar bisa berupa banyaknya jangkauan media. Misalkan koran dengan jumlah oplah yang mencapai ribuan maupun televisi yang menjadi media primadona karena ditonton oleh sebagian besar masyarakat atau bisa juga baliho yang terletak di tempat yang strategis hingga banyak orang berlalu-lalang yang melihatnya. Dengan daya jangkau yang relatif luas, dan dalam waktu yang serentak, mampu memainkan peran dalam propaganda.

TV One dimiliki Oleh Abu Rizal, Metro TV dimiliki Surya Paloh, empat media TV RCTI, Global TV, MNC TV dan INEWS TV dimiliki satu orang yaitu Hary Tanoe, belum lagi media-media elektronik dan cetak lainnya yang sudah terkooptasi oleh kepentingan Partai Politik yang berkuasa dan/ataupun yang akan bertarung di Pemilu.

Belum lagi media seperti internet dimana setiap orang yang berpeluang dengan mudah untuk mengirimkan informasi dan dijadikan propaganda melalui informasi Hoax dan Hate Speech. Persoalan diatas menjadi ancaman besar terhadap NKRI, berdampak adanya perpecahan di berbagai lapisan sosial masyarakat yang notabene mudah terprovokasi.

Sejarah mencatat politik pecah Imperialis Belanda menjadi catatan penting bagi kita bagaimana dalam praktik melalui upaya distorsi atau pemutarbalikan fakta dalam strategi politik untuk memecah belah rakyat Indonesia dan kemudian dituliskan dalam buku-buku sejarah yang bisa mempengaruhi generasi bangsa Indonesia dalam berjuang mempertahankan NKRI.

Penulis berpendapat bahwa salah satu jalan keluarnya untuk menangkal Hoax dan Hate Speech bisa melalui lembaga-lembaga yang masih dianggap independen dan netral mengadakan kajian-kajian ilmiah di perguruan-perguruan tinggi, dan pakar-pakar semua bidang keilmuan untuk membuat statmen bersama dan mencerdaskan masyarakat secara rasional bahwa Hoax dan Hate Speech itu merupakan kejahatan yang bisa merusak nilai-nilai Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia.***

Penulis adalah Pengurus Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Kabupaten Pandeglang, Tinggal di Kaduronyok  Cisata, Pandeglang, Banten.