IKA PMII DKI Jakarta Gelar Seminar Ilmiah. ASWAJA dan Marhaenisme; Titik Temu Politik Kebangsaan.

0
736
views
Dari kiri Yayan Supriatna, penulis TESIS Aswaja & Marhaenisme, Wisnu Badiklat DPP PDIP, Ahmad Salim Moderator, dan Okky Tirto Sekretaris Prodi Sosiologi UNUSIA Jakarta. (fhoto : tama)

Salakanews, Jakarta – Ikatan Alumni PMII DKI Jakarta menggelar seminar Ilmiah di gedung PBNU lantai 4, Rabu pada pukul 14.00 s/d selesai 06/09/17 dengan judul ASWAJA dan MARHAENISME; Titik Temu Politik Kebangsaan.

Acara ini dihadiri oleh Yayan Supriatna selaku penulis TESIS ASWAJA dan MARHAENISME yang juga sebagai dosen UBK Jakarta, Wisnu Broto dari Badiklat DPP PDIP, Okky Tirto Sekretaris Prodi Sosiologi UNUSIA. dan dihadiri oleh IKA PMII ( ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) DKI Jakarta, dan juga beberapa tokoh Alumni GMNI Jakarta (gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia).

Yayan Supriatna selaku penulis Tesis memaparkan penelitiannya bahwa Aswaja dan Marhaenisme merupakan sebuah ideologi yang memiliki kesamaan pandangan soal pembebasan, kerakyatan dan nasionalisme, pembebasan khususnya pada kaum proletariat atau kelompok masyrakat lemah.

“Jika Aswaja memiliki pandangan bagaimana membebaskan kelompok mustadz affin kelompok tertindas dan lemah, begitu juga dengan Marhaenisme dengan keberpihakan pada wong cilik atau rakyat kecil” ungkapnya.

Artinya lanjut Yayan, dua ideologi ini memiliki kesamaan pandangan yang berbasis pada kerakyatan, dan lebih diperkuat lagi ketika dirumuskannya Undang-Undang Agraria pada tahun 1965 yang diusung oleh kelompok NU dan PNI.

Maka tak heran kata yayat, jauh sebelum kemerdekaan lahir terjadi gerakan perlawanan terhadap penjajahan yang dilakukan oleh para santri dan kelompok rakyat kecil yang dapat melahirkan nasionalime di kedua kelompok ini. tetapi kata Yana pada penelitiannnya ini lebih banyak membahas ajaran ke-Aswajaan dari pada Marhaenisme, dengan alasan literasi soal Marhaenisme sangat sedikit sehingga membuatnya sangat kesulitan untuk menemukan referensi baik di perpustakaan nasional maupn di beberapa tempat buku lainnya soal marhaenisme ini.

Pada tahun 1959 NU telah membuat konsepsi tetang nasionalisme, sebagaimana yang telah dilakukan dalam penelitannya Yana telah menemukan tulisan terkait gagasan kebangsaan dalam berita NU ditemukannya tulisan seorang santri yang bernama Manar, menurt yana seorang santri ini telah menulis dengan begitu panjang lebarnya soal nasionalisme begitu juga dengan seorang kiyai yang tidak tercatat namanya. Telah medeskripsikan secara rinci pentingnya sebuah negara dalam wadah persatuan, maka tak heran pada tahun 1914 KH,Wahab Hasbullah telah menggasa satu pandangan mengenai kebangsaan bernama Nahdatul Wathan Ansari.

Sementara itu, Okky Tirto sekretaris Prodi Sosiologi UNUSIA Jakarta menjelaskan dengan lugas bahwa Aswaja dan Marhaenisme itu merupakan sama-sama frame berfikir bagaimana membebaskan kaum lemah. Tetapi ia juga tak menampik jika Aswaja juga mestinya digandengkan dengan Marxisme, karena antara Islam dengan nasionalisme sudah selesai pada tataran wacana.

“Pada saat ini ASWAJA islam itu harusnya digandengkan dengan marxisme, karena anatara islam dengan nasionalisme sudah selesai. Tiba-tiba waktu terus bergulir kita mendapati bahwa islam belum selesai antara islam dengan nasionalisme, hari ini misalnya ada orang yang memposisikan sebagai kubu nasionalis bisa distigma sebagai orang yang kafir, sekuler, jadi menjadi toleran itu bisa menjadi kafir, kira-kira begitu, sementara kalau mau kafah keislamannya itu harus keras, harus saklek, dan ini terjadi, artinya ini terjadi bahwa proses pembangunan jembatan sura madu itu lebih cepat selesainya daripada  proses pembangunan jembatan antara islam dengan nasionalisme” terangnya.

Ini pula tidak bisa juga dipisahkan antara pembebasan antara agama dengan relasi negara. Barangkali kalau NU dan PNI kita masih bisa meraba-raba relasi keduaya, kita juga bisa memberikan data-data pada sidang-sidang di DPR dan seterusnya, katanya.

Tapi ketika Aswaja dan Marhaenisme kita langsung buka kitab-kitab yang berkaitan dengan ahlussunah waljama’ah. Disitu ada bab terahir yang menerangkan akidah ahlussunah waljamaah, tapi kemudian menjadi menarik bahwa ternyata akidah ahlusunnah ini juga tidak bisa dijadikan sebagai dogma,  maka kemudian terahir keluar kritik-kritik atau pemikiran-pemikiran kritis manakala lahir generasi muda yang bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran dari kelompok pembaharu dari Mesir, yang kemudian bisa kita saksikan dalam sejarah geng pembaharu Jawa Timur lahir dengan nama Aswaja Annahdiyyin/Annahdiyah ada nama dibelakangnya.

Oleh karena itu kata Okky, jika hari ini kita membahas Aswaja, maka yang menjadi pertanyaan adalah ASWAJA yang mana? Ungkapnya penuh Tanya. Okky menuturkan belakngan ini dirinya telah berkumpul bersama khatib Khatib Suriah dan lain-lain kemudian ada yang mengatakan bahwa Aswaja ini sudah final, tetapi menurutnya Aswaja itu belum final dan masih terus berharap ada pembaharuan seiring berkembangnya jaman.

“Wong Pancasila saja belum final. Maka itu agak aneh karena dalam usul fiqih disebutkan bahwa, wong fiqih saja bisa berubah apalagi frame berfikir” ujarnya.

yang paling celaka adalah kita menjadikan Aswaja sebagai produk pemikiran, padahal Aswaja itu seharusnya bukan produk pemikiran, kalau produk pemikiran maka sudah barang tentu dia menjadi indoktrinasi, dogma. Ia harusnya menjadi frame berfikir, sehingga ketika itu dijadikan sebagai frame berfikir, maka menjadi tools yang namanya Aswaja, bahwa kemudian tools ini menjadi pembaharuan-pembaharuan ya iya, sebagaimana yang dikatakan oleh almukarom KH.Ma’ruf Amin, bahwa pembaharuan dan revisi itu harus terus menerus dilakukan, katanya.

kalau kita bilang aswaja lalau kemudian mereka peras bahwa Aswaja menjadi empat perinsif poko misalnya, ada Tawazun, Tawassuth, Tasamuh, I’tidal. Ada point ke empat yang jarang disebut.

Al-amru Bil Ma’ruf Wanahyi Iwal Mungkar: nah jangan – jangan bila kita belum bisa  menyebutkan ini, maka ini bisa dikatakan sebagai korupsi dalil, artinya bahwa ada pilar yang ditutupi begitu.

Maka apabila pilar ini ditutupi dalam ilmu hadis disebut Mudallas Kalau filar ini benar ditutupi maka ada yang disembunyikan dan ditutup-tutupi ini ada apa? Tanyanya.

Kemudian lanjut Okky, pertemuan antara Aswaja dengan Marhaenisme tidak lagi dipandang sebagai kaum santri dan abangan, karena hal itu bukan lagi sebagai kekinian. Bahwa realitasnya basis santri dan abangan sama –sama wong cilik (meminjam bahasa Marhaenisme-red.) baik basis santri maupun basis abangan, baik basis NU maupun Basis Nasionalis hal ini kaum marhaenis, semuanya adalah sama-sama rakyat kecil.

Yaitu sama – sama yang kesehariannya lebih pasih pegang cangkul daripada pegang laptop, lebih fasih megang jala dari pada megang tab, bahwa basis wong cilik yang kalau pada hari ini mau dipetakan adalah nelayan di pesisir pantai utara, kalau di pulau jawa, atau daerah-daerah perkebunan, dan itu semua bukan tani tapi buruh tani, karena kalau petani nanti akan muncul kuasi tani atas kiyai, atau kalau buruh kuasi buruh – kiyai, inilah yang akan menjadi soal.. kalau begitu maka kemudian akan muncul santri akan berlawan pada kiyainya sendiri ini kan bahaya kalau begitu. Maka pada konteks ini maping-nya harus jelas karena akan mempertegas duduk persoalan agar lebih terlihat dengan jelas, tegasnya.

Pada kesempatan yang sama Wisnu Broto dari Badiklat DPP PDI Perjuangan mengatakan ASWAJA dan Marhaenisme bisa dilihat ada kesamaan antara keberpihakan NU dengan Pikiran Bung Karno, bedanya kata Wisnu, Marhaenisme itu tak berkitab, artinya sampai saat ini pun ia tak ada dalam bentuk literasi, tetapi ajaran Marhaenisme itu mulai dipatenkan mulai pada tahun 2005 pada saat PDIP mulai membenahi diri. Akan tetapi Wisnu mempertanyakan akan isme ini apakah betul PDIP itu akan mewarisi pemahaman ideologi Marhaenisme.

Bahwa, pada ahirnya ada titik temu pemikiran Marhaenisme Bung Karno dan ASWAJA yang memang sama-sama berakar dari dialektika masyarakat nusantara yang guyub, suka bergotong-royong dan mempunyai sepiritualisme yang tinggi (ber-keTuhanan).

“Berbedanya dengan Aswaja menurut Wisnu, Marhaenisme selama ini hanya merujuk pada tulisan dan pidato Bung Karno dalam berbagai kesempatan. meski ada benang merah yang jelas antara Marhaenisme sebagai teori perjuangan yang bermuara pada Pancasila 1 juni 1945 sebagai landasan bernegara, namun di kalangan internal kaum nasionalis Sukarnois masih ada tafsir yang berbeda dalam memaknainya” ujarnya.

Pemikiran Bung Karno secara gamblang soal kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, dan keTuhanan yang berkebudayaan bisa disimak dalam buku “di Bawah Bendera Revolusi 1 dan II”,  “Indonesia Menggugat”, “menuju Indonesia Merdeka” hingga pidato dari tahun  1946 hingga pada masa kejatuhan Sukarno pada 1967.

Menyikapi ini PDI Perjuangan tahun 2015 sebagai suluh perjuangan partai dan dasar berpikir kader partai, meski diakui Wisnu menjalankan Marhaenisme tidak mudah ketika kekuatan oligarki dan feodalsime masih bercokol di tingkat elite kekuasaan,

“Saatnya kaum Nahdiyin dan Marhaenis terus bekerja sama untuk membangun politik kebangsaan di tengah arus fundamentalisme pasar dan agama yang bukan jati diri bangsa Indonesia” ungkapnya penuh harap. (tama)