Tangerang Selatan, salakaNews– Internet merupakan salah satu instrument yang sangat efektif dalam menyebarkan informasi. Tak hanya itu internet juga dimanfaatkan sebagai kebutuhan untuk berkomunikasi secara sehat, tapi juga sama berbahayanya ketika digunakan dalam menyebarkan propaganda yang berujung kebencian, bercerai berainya antar sesama karena permusuhan, dan peperangan.
Jika kondisi tersebut dibiarkan, maka tak menutup kemungkinan bagi bangsa Indonesia yang hidup rukun dan damai pun terkena dampak dari efek negatif tersebut.
Hal itulah, yang membuat Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Banten melakukan ikhtiar dalam menanggulangi terjadinya paham berbahaya yang dapat meruntuhkan kedaulatan Republik Indonesia.
Melalui Bidang Media Massa, Hukum dan Humas Bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggelar Ngopi COI (Ngobrol Pintar Cara Orang Indonesia), dengan tema Indonesia Adalah Kita digelar di Hotel Sapphire Sky Tangerang Selatan, Banten.
“Kegiatan Ngopi Coi adalah bagaimana memberikan pemahaman kepada berbagai elemen masyarakat, khususnya aparatur Kelurahan dan Desa, awak media massa, pers, dan generasi muda, mengenai dampak negatif internet sebagai salah satu sarana penyebar luasan paham radikalisme dan terorisme,” ujar Sehabudin, Kabid Media Massa, Hukum dan Humas FKPT. Kamis,(05/03/20).
Paham-paham radikalisme, lanjutnya, disebabkan oleh berbagai faktor. Dari pemahaman agama yang keliru, perlakuan yang tidak adil, sehingga menimbulkan perasaan tidak suka, perasaan benci kepada negara.
“Ada dinamika propaganda dan rekruitmen terorisme. Kini metode baru melalui dunia maya, rekruitmen terbuka dan pembaiatan lewat medsos. Pemanfaatan dunia maya oleh kelompok radikalisme terorisme,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Perangkat Hukum Internasional BNPT, Joko Sulistyanto, S.H., M.Hum, mengatakan, maraknya paham radikalisme ini karena ada nilai-nilai intoleransi yang diajarkan oleh kelompok-kelompok radikalisme.
Kelompok-kelompok yang terpapar paham radikalisme kurang bisa menerima adanya perbedaan. Menganggap paham atau ajaran yang dianut kelompok di luarnya adalah salah.
“Misalnya dalam hal ibadah. Pastilah dalam menjalankan ibadah setiap agama mempunyai cara yang berbeda-beda. Namun, kelompok-kelompok radikalisme ini tidak mewajari perbedaan-perbedaan seperti itu. Kelompok ini juga kurang terbuka dalam menerima kritikan dan saran dari pihak lain,” ungkapnya.
Menurutnya, cara mudah memerangi penyebaran hoaks dan konten radikal di media sosial adalah dengan tidak menyebarkannya ke orang lain.
“Informasi yang diterima di media sosial harus disaring terlebih dahulu sebelum dibagikan ke orang lain. Bila kebenaran suatu info dipertanyakan, sebaiknya diindahkan saja,”katanya.
Sementara Yosep Adi Prasetyo, mantan ketua Dewan Pers mengatakan, media adalah ujung tombak terdepan dalam keterlibatannya memberikan informasi yang akurat ke pada publik. Penyebar luasan berita bohong (hoax), ujaran kebencian, dan informasi negative lain yang terjadi terus menerus melalui platform media, diantaranya media sosial, menurutnya, mengakibatkan mudahnya masyarakat terpapar paham radikal terorisme.
“Radikal Terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi bangsa dan Negara kemajuan informasi dan teknologi yang digunakan secara bijak menjadi salah satu penyebabnya, oleh Karena itu setiap lapisan masyarakat harus menyaring setiap informasi dengan melakukan klarifikasi, verifikasi, dan konfirmasi sebelum menyebarluaskannya,”pesannya.
Kegiatan ini dihadiri dari beberapa unsur, seperti Babinkantibmas, Babinsa, Lurah, Wartawan, Humas, serta Jurnalis Kampus (Pers Mahasiswa), turut menghadirkan narasumber dari BNPT, pengurus FKPT, dan Praktisi Jurnalis.
Editor: tam
Reporter: Rian