Penulis selaku mahasiswa dari Universitas Mercu Buana pada mata kuliah Pancasila (Dosen pengampu : Dr Rosmawaty Hilderiah Pandjaitan, S.Sos., M.T., CPR., CICS) . Penulis bergerak hati mencermati konsep kebhinekaan. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengeksplorasi Pasar Pecinan Glodok, sebuah pasar yang kaya akan keberagaman budaya Tionghoa. Penulis mengangkat tema sila ke 3 yaitu “Persatuan Indonesia” dengan judul “Studi Lapangan Gotong Royong di Kawasan Pecinaan Glodokā.
Dalam Sila Ketiga Pancasila, dapat kita lihat di Pasar Pecinan Glodok. Di sana, banyak
sekali masyarakat Tionghoa yang berdampingan dengan masyarakat lokal yang saling
menghormati dan toleransi meskipun mempunyai kultur, ras agama dan budaya yang
berbeda. Untuk kesempatan kali ini, penulis sangat tertarik untuk mengeksplor bagaimana
nilai-nilai Pancasila dapat tercermin dalam kehidupan serta alkuturasi dan interaksi yang
terjadi di Pasar Pecinan Glodok, Jakarta Barat.
Pasti kalian sudah tahu kan kawasan Glodok Pancoran yang terletak di Jakarta
Barat? Nah kawasan ini adalah salah satu Pecinan tertua di Indonesia yang kaya akan
sejarah dan budayanya. Kawasan ini juga sudah ditetapkan menjadi Desa Wisata Pecinan Glodok di Tahun 2022 oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif karena memiliki nilai story dan menunjukkan hasil akulturasi dari budaya Tionghoa, Sunda, Betawi hingga Jawa.
Di sana di sepanjang jalan kita bisa menemukan toko-toko yang khas mulai dari toko obat
Tiongkok yang sudah berusia puluhan tahun, toko manisan hingga toko alat-alat
sembahyang yang masih ramai dikunjungi.
Oh ya, kalian penasaran gak sih kenapa dinamakan warung Pancoran? Jadi, nama
Pancoran berarti pancuran atau sumber air sesuai dengan sejarahnya, dulu di depan balai
kota atau sekarang disebut Museum Sejarah Jakarta atau (Museum Fatahillah) ada tempat minum air gratis bagi masyarakat dan bunyi dari pancuran air ini grojok-grojok, mungkin karena banyak penduduk Tionghoa susah menyebutkan huruf R maka sebutan grojok tadi menjadi Glodok dan sepanjang waktu berubah menjadi Glodok sehingga lebih mudah diucapkan, nah mulai dari sana mereka menyebut Glodok Pancoran atau Pancoran Glodok.
Banyak sekali tempat ikonik disana salah satunya pantjoran tea house yang menghadirkan kehangatan budaya Tiongkok, bangunan ini sendiri mencerminkan keindahan arsitektur kuno yang berpadu harmonis dengan modernisasi. Kawasan ini juga terdapat beberapa kelenteng bersejarah seperti kelenteng Tan Seng Ong dan Toa SE Bio Yang punya sejarah kuat di masing-masing bangunannya.
“Disitulah anda bisa melihat kebhinekaan secara global, baik melalui arsitektur, bahasanya, dan makanannya” ujar Dr Rosmawaty Hilderiah Pandjaitan, S.Sos., M.T., CPR., CICS selaku Dosen pengampu mata kuliah Pancasila Universitas Mercu Buana.
Di wilayah ini, keberagaman budaya, agama, dan tradisi bersatu, menciptakan harmoni yang mencerminkan cantiknya Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat. Gotong royong juga tampak dalam pelestarian tempat ibadah lintas agama, seperti Vihara Dharma Bhakti, Masjid Jami Kebon Jeruk, Gereja Santa Maria de Fatima dan Vihara Dharma Jaya Toasebio.Kolaborasi masyarakat lintas budaya dan agama dalam menjaga warisan ini merupakan bukti nyata bahwa nilai Pancasila hidup di tengah mereka.
Bergotong royong berdasarkan nilai pancasila menekankan pentingnya kerja sama, saling
menghormati, dan persatuan dalam keberagaman. Nilai ini sangat relevan di Glodok, tempat budaya Tionghoa, Betawi, Sunda dan Jawa berinteraksi. Warga Glodok, yang mayoritas berasal dari etnis Tionghoa, hidup berdampingan dengan masyarakat lokal, saling membantu dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, seperti menjaga pasar, mengelola acara keagamaan, hingga melestarikan kuliner tradisional yang memadukan cita rasa Tionghoa dan Nusantara.
Destinasi pertama yang penulis kunjungi adalah Vihara Dharma Bhakti, Vihara
Dharma Bhakti adalah salah satu vihara tertua dan paling penting di Jakarta, Indonesia.
Terletak di kawasan Glodok, yang juga dikenal sebagai Pecinan Jakarta, vihara ini sering
disebut Jin De Yuan. Vihara ini dibangun pada tahun 1650 pada masa penjajahan Belanda dan menjadi pusat spiritual serta budaya bagi komunitas Tionghoa-Indonesia. Pada saat penulis berkunjung banyak masyarakat yang sedang melakukan ibadah.
Destinasi kedua yang penulis kunjungi adalah Gereja Santa Maria de Fatima, Gereja
ini merupakan Gereja katholik tetapi bangunan nya sangat unik. Arsitekturnya yang khas
bergaya Tionghoa, sehingga menjadi simbol perpaduan budaya antara tradisi Tionghoa dan agama Katholik.
Destinasi selanjutnya adalah Vihara Dharma Jaya Toasebio.
Vihara Dharma Jaya Toasebio tidak hanya berfungsi sebagai tempat peribadatan umat
Buddha, namun juga sebagai pusat kehidupan sosial masyarakat Tionghoa di Glodok.
Sejak didirikan, vihara ini telah menjadi tempat berkumpulnya berbagai kegiatan keagamaan dan budaya, mulai dari Tahun Baru Imlek hingga perayaan Waisak. Selain acara keagamaan, vihara ini juga menyelenggarakan acara kebudayaan yang mempererat tali silaturahmi antar warga, mulai dari ritual hingga festival budaya.
Vihara Dharma Jaya Toasebio sangat berperan penting dalam menjaga keharmonisan
masyarakat Tionghoa di Glodok sambil terus memadukan tradisi dengan kehidupan modern.
Vihara Dharma Jaya juga merupakan salah satu tempat ibadah tertua di Jakarta. Bangunan ini sudah berdiri sejak tahun 1740. Vihara di kawasan Petak Sembilan ini dikenal sebagai tempat berkumpulnya keturunan Tionghoa saat Jakarta masih bernama Batavia.
Seperti yang telah dilakukkan Mahasiswa Universitas Mercu Buana dengan dosen
pengampu Dr Rosmawaty Hilderiah Pandjaitan, S.Sos., M.T., CPR., CICS yang telah
melakukan kunjungan ke Vihara Dharma Jaya Toasebio. Hal ini sejalan untuk
memaksimalkan potensi pemahaman Mahasiswa untuk menggali informasi tentang gotong royong dalam masyarakat serta nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia dimana Vihara Dharma Jaya Toasebio merupakan lebih dari sekedar tempat ibadah, namun merupakan pusat persatuan agama, budaya dan sosial masyarakat Tionghoa di Glodok. Vihara ini juga menjadi pusat kegiatan sosial yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, vihara berperan sebagai tempat untuk menggalang kegiatan sosial, pendidikan, dan meditasi yang dapat dimanfaatkan oleh semua kalangan masyarakat di daerah Pecinan Glodok, Jakarta Barat.
Selanjutnya disana terdapat Kawasan Petak 6 yang terletak di Pasar Baru, memadukan suasana pasar tradisional dengan budaya Indonesia dan Tionghoa. Bangunan tua di sekitar kawasan ini dengan desain yang menggabungkan elemen Tionghoa, memberi
kesan khas dan unik. Apalagi saat malam hari, lampion dan air mancur kecil membuat
suasananya semakin indah. Petak 6 juga dikenal dengan kuliner yang menggugah selera,
seperti kwetiau siram, sate kambing, dan bakmi naga resto yang menjadi favorit banyak
orang. Selain itu, kawasan ini menunjukkan semangat gotong royong yang di mana
masyarakat saling bekerja sama untuk menjaga dan mengembangkan tradisi kuliner yang
sudah ada serta menjadikan tempat ini tidak hanya menarik untuk dikunjungi, tetapi juga
mencerminkan nilai kebersamaan dalam keberagaman.
Hingga kini, semangat gotong royong masih terwujud dalam kehidupan masyarakat
Glodok, terutama dalam pelaksanaan acara budaya dan tradisional. Festival-festival seperti Imlek dan Cap Go Meh, misalnya. Melibatkan kerja sama lintas komunitas, pedagang, tokoh masyarakat, hingga pengelola tempat ibadah bersama-sama mengatur acara agar berjalan lancar.
Tidak hanya dalam tradisi, semangat gotong royong juga tampak dalam pengelolaan
pasar dan lingkungan. Pasar Glodok yang terkenal dengan jajanan khas seperti bakmi, kue keranjang, dan kopi tradisional tetap terjaga daya tariknya karena kerjasama antar
pedagang untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan pengunjung.
Serta akulturasi budaya di Glodok menghasilkan warisan yang kaya, seperti
makanan khas (kue keranjang, laksa glodok), bahasa, hingga seni arsitektur. Namun, proses ini tidak selalu mulus. Ada ancaman bahwa salah satu budaya dapat menjadi lebih dominan dan meminggirkan budaya lainnya. Misalnya, unsur-unsur budaya lokal kadang tergeser oleh modernisasi yang lebih menonjolkan budaya global.
Gotong royong menjadi kunci keberlangsungan mereka. Dalam kegiatan sehari-hari,
masyarakat Glodok saling membantu, baik dalam perdagangan, upacara tradisional,
maupun kegiatan keagamaan. Nilai-nilai kolektif ini terus diwariskan hingga sekarang,
menjadikan Glodok sebagai contoh hidup dari keberagaman yang harmonis.
Sebagai mahasiswa Pancasila, penulis percaya bahwa akulturasi harus
menghormati setiap elemen budaya. Dengan menerapkan nilai sila ketiga (Persatuan
Indonesia), proses akulturasi di Glodok dapat terus memperkaya keberagaman tanpa
menghilangkan identitas budaya.
Pecinan Glodok adalah salah satu cermin kebhinekaan Indonesia. Keberadaan
berbagai tempat ibadah, pasar tradisional, dan acara budaya menunjukkan indahnya
toleransi. Masyarakat Glodok merayakan perbedaan sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Keberagaman ini mengajarkan kita untuk tidak mengusung satu budaya atau agama saja,
tetapi untuk merayakan perbedaan yang memperkaya bangsa. Dengan semangat gotong
royong dan rasa persatuan, wilayah seperti Glodok dapat terus menjadi simbol cantiknya
Pancasila yang membangun harmoni di tengah kebhinekaan.
Dengan ini penulis ucapkan mohon maaf apabila ada kesalahan, semoga informasi yang
telah disampaikan dapat dijadikan sumber referensi dan dapat bermanfaat bagi para
pembaca