Mahasiswa Mercu Buana Jelajah Glodok: Pesona Keberagaman Indonesia dan Wujud Toleransi

0
144
views

Glodok bukan sekadar pusat perbelanjaan, tetapi juga cerminan keberagaman Indonesia. Dengan sejarah yang panjang dan kekayaan budaya, kawasan ini menjadi bukti nyata bagaimana berbagai suku, agama, dan latar belakang dapat hidup berdampingan secara harmonis. Bagi mahasiswa, terutama yang tertarik pada studi keberagaman dan toleransi, Glodok merupakan ruang belajar yang sangat berharga.

Hal ini terlihat pada kegiatan studi lapangan yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Mercu Buana pada 18 November 2024 di kawasan Pecinan Glodok. Kegiatan ini dipandu oleh  Rosmawaty Hilderiah P., Dr., S.Sos., M.T., selaku dosen pengampu mata kuliah Komunikasi Antar Budaya.

Gedung Chandra Naya

Destinasi pertama mereka adalah Gedung Chandra Naya, sebuah bangunan bersejarah yang kini diapit oleh dua gedung modern. Awalnya, Gedung Chandra Naya merupakan kediaman keluarga Khouw, khususnya Khouw Kim An, yang pernah menjabat sebagai Majoor der Chinezen atau kepala komunitas Tionghoa di Batavia. Dibangun pada abad ke-19 dengan arsitektur khas Tionghoa, gedung ini menjadi salah satu dari sedikit bangunan serupa yang masih bertahan di Jakarta hingga kini.

Vihara Dharma Bhakti

Destinasi berikutnya adalah Vihara Dharma Bhakti, juga dikenal sebagai Kim Tek Le, yang merupakan vihara tertua di Jakarta. Dibangun pada 1650 oleh Letnan Tionghoa Kwee Hoen dengan nama awal Kwan Im Teng. Tapi pada tahun 1740 vihara ini diyakini ikut terbakar dalam peristiwa pembantaian komunitas Tionghoa yang dikenal dengan sebutan Geger Pecinan. Vihara ini dibangun kembali pada 1755 oleh Kapiten Oey Tjie dan diberi nama Jin De Yuan, yang berarti Kebajikan Emas. Vihara ini memiliki 27 patung dewa, termasuk Patung Dewi Kwan Im yang selamat dari kebakaran 1740. Pada 2015, vihara kembali terbakar karena kelalaian, namun Patung Dewi Kwan Im tetap utuh.

Gereja Katolik Santa Maria de Fatima

Setelah itu, kunjungan berlanjut ke Gereja Katolik Santa Maria de Fatima. Gereja ini adalah bangunan bersejarah dengan arsitektur bergaya Tionghoa Fukien. Dibangun pada abad ke-19 untuk komunitas Hoakiau, gereja ini diresmikan pada 1955. Gaya uniknya menonjol dengan dekorasi merah, kuning, emas, dan tulisan Mandarin. Pada 1972, gereja ini ditetapkan sebagai cagar budaya, berfungsi sebagai tempat ibadah, pusat pendidikan, dan kegiatan sosial. “Jika terjadi perbaikan, hanya sedikit perubahan yang dapat dilakukan untuk meminimalkan perubahan dan menjaga tingkat originalitas bangunan, mengingat statusnya sebagai cagar budaya. Gereja ini menjadi simbol keragaman budaya dan keyakinan di Indonesia,” jelas pemandu dari Pego Wisata, George, dalam kunjungan studi lapangan mahasiswa Mercu Buana.

Kelenteng Toasebio

Kunjungan terakhir adalah ke Kelenteng Toasebio, juga dikenal sebagai Hong San Miao, yang berdiri sebelum peristiwa Geger Pecinan 1740. Pada 1751, dibuat hiolo kotak di altar Kongco Cheng Goan Cheng Kun, diikuti pemberian papan kebesaran oleh Chang Tai Association of Batavia pada 1752. Renovasi besar selesai pada 1754, dan kelenteng terus berkembang di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh penting seperti Kapitan Li Dai Dian (1819) dan Letnan Wang Feng Guan (1839). Pada 1912, Tan Soen Hok membeli lahan kelenteng, dan tahun 1952, Tjie Jat Njan bersama warga mulai mengurusnya. Yayasan Vihara Dharma Jaya Toasebio resmi didirikan pada 1983, dengan Husein Buntara Sjarifudin sebagai ketua yayasan pertama. Hingga kini, kelenteng ini menjadi simbol warisan budaya dan spiritual komunitas Tionghoa di Jakarta.

Karenanya, Glodok secara alami terbentuk menjadi kawasan wisata seni dan budaya Tionghoa berpadu dengan suku Betawi. Tak hanya itu, kawasan ini juga tersohor seantero Jakarta sebagai sentra perdagangan barang-barang khusus Tionghoa, mulai dari kuliner, obat tradisional, busana, peralatan ibadah, sampai pernak-pernik, semuanya ada. Di sini juga sering diadakan atraksi budaya Tionghoa seperti barongsai dan kesenian lainnya. Apalagi kalau momen Imlek, tempat ini akan sangat merah dan meriah.