. Pandangan yang komprehensif lintas hukum, politik, etika dan moral di tengah polemik putusan Mahkamah Kontitusi. Berikut pandangan Dr. Salahudin Gaffar SH MH. Warga Jakarta, Asal Bima, Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Asyfii’iyah Jakarta, yang juga Praktisi Hukum Advokat Senior.
———————————
SAYA memiliki pemahaman dan pandangan yang sama dengan sebagian sarjana hukum lainnya. Bahwa Indonesia pada hakikatnya bukan negara hukum.
Indonesia hanyalah negara yang menjalankan undang undang. Bahkan belum sampai pada tingkatan negara pelaksana konstitusi.
Cita cita menjadikan negara hukum berdasarkan pancasila pun belum dapat ditunaikan lantaran kekuasaan (politik ) terlalu dominan mengatur.
Sejatinya negara hukum yang menjadi harapan ideal seluruh tumpah darah Indonesia harusnya tergambar dalam perlakuan negara terhadap rakyat pada tiga fungsi utama yakni fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Ketiga fungsi ini seharusnya merdeka dalam menjalankan fungsinya. Terbebas dari segala bentuk intervensi apapun dan siapapun. Namun kenyataannya tidak demikian.
Sebagai negara bekas jajahan Belanda karakteristik civil law yang bersumber dari sistim eropa continental sangat menonjol. Menjadi sebuah sisitim campuran karena adanya hukum adat dan hukum Islam yang sudah hidup lebih lama. Maka dari sini sejatinya perilaku penegak hukum terikat pada etika dan adab yang luhur. Yang bersumber dari hukum adat dan hukum Islam utamanya para wakil Tuhan di pengadilan.
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan. Ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi Penguasa-penguasa Negara dalam melaksanakan tugasnya. Demikan Mr.E.M Meyers dalam buku ‘Algemene begrippen van het Burgerlijk Recht.’
Mengacu pada sistem Eropa continetal maupun anglo saxon maka pemisahan kekuasaan adalah salah satu hal mendasar. Bahkan syarat mutlak agar sebuah negara disebut sebagai negara hukum.
Di Indonesia secara kelembagaan memang terpisah tetapi secara sistim dibawah satu kendali kekuasaan eksekutif.
Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Mahkamah Agung dan Mahakamah Konstitusi di Indonesia adalah organ yudikatif yang sesungguhnya “tunduk” pada presiden. Sebagian orang akan membantah dan menyatakan ngawur argumentasi ini. Tetapi sangat mudah membuktikan validitasnya. Misalnya pejabat tinggi dari institusi yang saya sebutkan di atas merupakan orang-orang titipan partai. Satu paket dengan presidennya. Jangan heran yang mengangkat dan melantiknya adalah presiden.
Tidak terkecuali legislatif. Lantaran mereka tidak lagi mewakili rakyat tetapi mewakili partai (kelompoknya) bahkan presiden itu dari kelompok mereka.
Putusan MK yang sedang ramai diperbincangkan adalah hasil dari “kekacauan sistim” hukum kita. Masalah besarnya hukum lahir dari aktivitas politik. Maka dapat dipahami semua produk peradilan (hampir pada semua badan peradilan) berorientasi pada kemauan kekuasaan /politisi. Bahkan telah menjadi alat kekuasaan/politik.
Penempatan orang orang tertentu dengan jabatan dan masa jabatan tertentu merupakan grand design untuk mengamankan kepentingan penguasa. Dan telah disiapkan jauh-jauh hari bahkan dengan cara cara yang menabrak etika moral itu. Ini yang saya sebut dengan sisitim ijon. Lalu kaderisasi kepemimpinan nasional tidak berjalan.
Maka ada bocah ingusan diperebutkan untuk menjadi alat mereka yang membutuhkan untuk berkuasa. Ketua Partai A besanan dengan ketua partai B. Menteri saling besanan. Bahkan presiden besanan atau iparan dengan pejabat selevel ketua MK yang saat ini lagi di bully. Adalah hasil dari prosesi ijon untuk mengamankan kepentingan kekuasaan untuk saling mengamankan kepentingan tersebut.
Pola ini dapat menimbulkan asumsi publik. Kengototan pihak tertentu yang mendorong Putra Jokowi masuk ke arena cawapres itu sebagai grand design eksekusi konsensus. Bahwa 2024 adalah jatah PS setelah “mengalah” pada dua pemilu sebelumnya. Sebagai balas budi Jokowi kepada PS yang membesarkannya. Lalu dia “menyerahkan” anaknya tidak lain dan tidak bukan untuk selebihnya, mendulang suara. Pesan pentingnya, untuk para pemuja agar tahu bahwa Jokowi behind PS, pintu masuknya Uncle Anwar simbolisasinya adalah GR.
Sebagai praktisi hukum yang wara-wiri ke pengadilan, terkait dua amar yang berbeda pada 2 putusan uji materi pasal 169 itu saya benar-benar tidak tertarik. Apalagi doktrin dalam praktek hukum kita “menyesatkan.” Yaitu dilarang mengomentari putusan hakim yang semestinya berlaku ketika roh et aequo et bono itu dipegang teguh para hakim faktanya dalam praktek di pengadilan diabaikan sakralitasnya.
Gugatan PSI itu adalah tayangan konsumsi ranah publik yang mengirimkan pesan seolah Uncle Anwar profesional dan adil. Tetapi gugatan mahasiswa itu adalah grand design yang dicreat untuk memberikan jalan kelompok Jokowi yang telah memiliki konsensus dengan kelompok PS. Jadi publik dibuat bego.
Asumsi yang menarik adalah bahwa semua yang sedang berjalan saat ini pada pokoknya melanggengkan kebijakan era kekuasaan Jokowi 10 tahun. Selanjutnya nanti akan ditambah 10 tahun oleh PS. Setelah itu ditambah 10 tahun lagi oleh GR.
Jadi 30 tahun kedepan semua misi para cukong politik itu terseksekusi melalui berbagai paket kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Pada area hukum misalnya muncul HGU dengan 195 tahun buat asing. Kekayaan alam yang akan di kuras, hutang luar negeri semakin bertambah. Kesenjangan yang akan terus meningkat.
Apakah hitungan-hitungan saya ini cocoklogi dengan kajian Lemhanas yang mengatakan tahun 2034 kita berpotensi menghadapi bahkan mengalami “perang.” Bahkan perang beneran secara konvensional lantaran kita berpotensi benar-benar di jajah secara fisik? Dua raksasa akan saling berebut Indonesia Tiongkok dan Uncle Sam.
Maka sejarah akan mencatat bahwa Uncle Anwar ikut memberikan jalan untuk Uncle Sam memperpanjang hegemoni. Lantaran lembaga MK itu juga telah menjadi alat.
Sistim ijon memang berbahaya dalam rekrutmen politik dan kekuasaan.
Jadi tidak ada artinya keberadaan Anwar Usman dan Anwar Usman lainnya. Jika sistim hukum dan politik kita masih tertukar fungsinya. Siapa yang diatur dan siapa yang mengatur.
Wallahu’alam
Lembo ade samena na weki Mbojo
Lembo Ade Uncle Unwar